Berbakti & Silaturrahim. Ibnul Jauzi. Pustaka Azzam
- Rp 203.000 Rp 162.400
- Availability: In Stock
Bab Berbakti Kepada Kedua Orang Tua dan Silaturrahim (Bab 40)
333- وعن ابن عمر رضي الله عنهما قال: كانت تحتي امرأةٌ، وكنت أحبها، وكان عمر يكرهها، فقال لي: طلقها، فأبيت، فأتى عمر رضي الله عنه النبي صلى الله عليه وسلم، فذكر ذلك له، فقال النبي صلى الله عليه وسلم: طلقها رواه أبو داود، والترمذي وقال: حديث حسن صحيح.
Dari Ibnu ‘Umar radhiayallahu ‘anhuma, beliau berkata,”Aku memiliki seorang istri, dan aku mencintainya, dan ‘Umar membencinya. Maka beliau (‘Umar) berkata padaku,”Ceraikan dia,” Saya pun enggan untuk menuruti perintahnya. (Karena itu) kemudian ‘Umar radhiyallahu ‘anhu mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lalu menceritakan hal tesebut padanya. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,”Ceraikanlah dia”. Riwayat Abu Dawud dan At-Tirmidzi dan dia berkata,”Hadits hasan shahih.”
Takhrij Hadits:
– Lihat Jami’ At-Tirmidzi / 1189, himpunan bab perceraian, bab apa yang datang (dari sunnah) tentang seorang lelaki yang bapaknya memintanya untuk menceraikan istrinya.
– Lihat juga Sunan Abi Dawud / 5138, Kitabul Adab, bab berbakti kepada kedua orang tua.
– Lihat juga Musnad Ahmad: Musnad ‘Abdullah bin ‘Umar, 7/4711, 8/5011,5144, 9/6470. Semua hadits ini dinilai isnadnya qawiyy (kuat) oleh Al-Arnauth.
334- وعن أبي الدرداء رضي الله عنه أن رجلاً أتاه فقال: إن لي امرأةً وإن أمي تأمرني بطلاقها ؟ فقال: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: الوالد أوسط أبواب الجنة، فإن شئت، فأضع ذلك الباب، أو احفظه رواه الترمذي وقال: حديثٌ حسنٌ صحيح.
Dari Abu Ad-Dardaa’ radhiayallhu ‘anhu bahwasanya seorang laki-laki mendatanginya kemudian bertanya,”Sesungguhnya saya memiliki seorang istri dan sesungguhnya ibuku memerintahkanku untuk menceraikannya?” Maka Beliau menjawab, “Aku telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Orang tua adalah pintu surga paling tengah. Jika kamu mau, sia-siakanlah pintu itu atau jagalah.” Riwayat At-Tirmidzi dan dia berkata,”Hadits Hasan Shahih”.
Takhrij Hadits:
– Lihat Jami’ At-Tirmidzi / 1900,himpunan bab al-birr dan as-shilah, bab keutamaan ridha kedua orang tua.
PENJELASAN:
A. Mufradaat:
– كانت تحتي امرأةٌ: Kalau diartikan secara harfiyah, “Adalah di bawahku ada seorang wanita”. Tetapi yang dimaksud di sini adalah arti majaz, yaitu istri. Ini diperjelas dengan bagian selanjutnya dalam hadits: “Ceraikanlah dia.”
– الوالد: Kalimat الوالد dalam ‘urf masyarakat ‘arab dikhususkan kepada ayah. Namun lafaz ini meliputi – dari segi ma’na dan bahasa – ibu dan ayah. Dengan pengertian yang kedua ini, jawaban atas pertanyaan si penanya dalam hadits 334 terjawab. Lihat catatan kaki kitab riyadhus shalihin terbitan darus salam, halaman 107.
– فأضع : dari الأضاعة, yakni التضييع: yaitu kehilangan atau terlepas. Dan التضييع terjadi dengan ketiadaan berbakti (البر) dengannya atau mendurhakainya. Lihat catatan kaki pada halaman yang sama.
B. Faidah dari Kedua Hadits:
Kedua hadits ini termasuk dalam bab birril walidain dan shilatil arham dalam riyadhus-shalihin. Apabila kita hanya membaca sekilas hadits-hadits tersebut, mungkin akan muncul berbagai pertanyaan dalam benak kita. Mungkin ada yang berfikiran mengapa ‘Umar radhiyallahu ‘anhu menyuruh anaknya untuk menceraikan istrinya. Mungkin juga ada yang berfikir, apakah kasus ini berlaku umum dalam setiap keadaan?Untuk itu, kita kembali kepada kaidah-kaidah yang telah dikenal dalam syari’ah Islam:
1. Haram memceraikan antara suami dengan istrinya.
Islam mengharamkan perbuatan memisahkan suami dan istri.Dalilnya adalah ayat Al-Qur’an:
وَاتَّبَعُوا مَا تَتْلُو الشَّيَاطِينُ عَلَى مُلْكِ سُلَيْمَانَ وَمَا كَفَرَ سُلَيْمَانُ وَلَكِنَّ الشَّيَاطِينَ كَفَرُوا يُعَلِّمُونَ النَّاسَ السِّحْرَ وَمَا أُنْزِلَ عَلَى الْمَلَكَيْنِ بِبَابِلَ هَارُوتَ وَمَارُوتَ وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ أَحَدٍ حَتَّى يَقُولَا إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلَا تَكْفُرْ فَيَتَعَلَّمُونَ مِنْهُمَا مَا يُفَرِّقُونَ بِهِ بَيْنَ الْمَرْءِ وَزَوْجِهِ وَمَا هُمْ بِضَارِّينَ بِهِ مِنْ أَحَدٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ وَيَتَعَلَّمُونَ مَا يَضُرُّهُمْ وَلَا يَنْفَعُهُمْ وَلَقَدْ عَلِمُوا لَمَنِ اشْتَرَاهُ مَا لَهُ فِي الْآَخِرَةِ مِنْ خَلَاقٍ وَلَبِئْسَ مَا شَرَوْا بِهِ أَنْفُسَهُمْ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ
“Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya syaitan-syaitan lah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat[*] di negeri Babil yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun sebelum mengatakan: “Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir”. Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan isterinya. Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorangpun, kecuali dengan izin Allah. Dan mereka mempelajari sesuatu yang tidak memberi mudharat kepadanya dan tidak memberi manfaat. Demi, sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barangsiapa yang menukarnya (kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat, dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya dengan sihir, kalau mereka mengetahui.” (Al-Baqarah:102).
[*] Para mufassirin berlainan pendapat tentang yang dimaksud dengan 2 orang malaikat itu. Ada yang berpendapat, mereka betul-betul Malaikat dan ada pula yang berpendapat orang yang dipandang saleh seperti Malaikat dan ada pula yang berpendapat dua orang jahat yang pura-pura saleh seperti Malaikat.
Ayat tersebut secara jelas menyebutkan tercelanya menceraikan suami dengan istrinya, yang hakikatnya adalah perbuatan syaithan. Imam Muslim meriwayatkan dalam shahihnya dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ إِبْلِيسَ يَضَعُ عَرْشَهُ عَلَى الْمَاءِ ثُمَّ يَبْعَثُ سَرَايَاهُ فَأَدْنَاهُمْ مِنْهُ مَنْزِلَةً أَعْظَمُهُمْ فِتْنَةً يَجِيءُ أَحَدُهُمْ فَيَقُولُ فَعَلْتُ كَذَا وَكَذَا فَيَقُولُ مَا صَنَعْتَ شَيْئًا قَالَ ثُمَّ يَجِيءُ أَحَدُهُمْ فَيَقُولُ مَا تَرَكْتُهُ حَتَّى فَرَّقْتُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ امْرَأَتِهِ قَالَ فَيُدْنِيهِ مِنْهُ وَيَقُولُ نِعْمَ أَنْتَ
“Sesungguhnya Iblis itu singgasananya di atas air. Kemudian dia mengutus pasukannya kepada manusia. Maka manusia yang paling dekat kedudukannya dengan setan berarti paling hebat pula mendapat ujian dari setan. Seorang anggota pasukan datang melapor,’Saya melakukan ini dan itu,’ kemudian iblis berkata,’Kamu tidak mealkukan apa-apa.’ Kemudian beliau shollallahu ‘alaihi wasallam melanjutkan,”Kemudian anggota pasukan lain datang melapor,’Aku tidak meninggalkan manusia sebelum aku berhasil menceraikan antara dia dan istrinya”. Kemudian beliau shollallahu’alaihi wasallam berkata,”Lalu dia (iblis) mendekatinya (anggota pasukan tadi) dan berkata, ‘Bagus kamu.'” (riwayat Muslim, No. 7106).
2. Berbakti kepada kedua orang tua adalah wajib, selama bukan dalam perkara yang dilarang syari’at.
Point ini sudah dijelaskan dalam awal pembahasan bab ini. Cukuplah kiranya kita nukilkan ayat Al-Qur’an:
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ (14) وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ (15)
“14. Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.
15. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (Luqman:14-15).
Bukankah tidak ada keta’atan kepada makhluq dalam perkara ma’siyat[*]? Lalu bagaimana dengan perintah ‘Umar kepada anaknya radhiyallahu ‘anhuma? Penjelasannya ada pada point berikutnya.
[*] Lihat Shahihul Jami’ No. 7520.