Antara Salman Rushdie, Jean Cabut, Ahok dan Jokowi
25 Oktober 2016REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Kalono *)
Kita tentu masih ingat ketika tahun 1988 seorang novelis warga negara Inggris, bernama Sir Ahmad Salman Rushdie merilis novel yang berjudul The Satanic Verses. Novel tersebut berisi penghinaan terhadap Quran yang disebutnya sebagai ayat-ayat setan.
Unjuk rasa, protes, demontrasi hingga fatwa hukuman matipun akhirnya dijatuhkan kepadanya. Demontrasi terjadi di hampir seluruh belahan dunia. Tidak terkecuali di Indonesia, terjadi di hampir seluruh kota di pelosok negeri.
Tentu kita juga masih ingat ketika beberapa tahun lalu umat Islam dunia, juga Indonesia, bereaksi keras dengan melakukan demonstrasi di kota-kota Indonesia. Hal itu sebagai bentuk protes atas diterbitkannya kartun berisi penghinaan terhadap diri Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam yang diterbitkan oleh majalah satir Charlie Hebdo di Paris.
Rupanya reaksi tersebut tidak sebatas demonstrasi, sehingga pada Rabu, 7 Januari 2015, sekelompok orang bertopeng berpakaian hitam dengan bersenjatakan AK-47 menyerbu majalah satir Charlie Hebdo di Paris, Prancis. Sambil meneriakkan kata 'Allahu Akbar', pelaku menyerbu kantor majalah yang sering menghina Islam tersebut.
Sebanyak 12 orang tewas, yang dua di antaranya adalah petugas polisi. Pemimpin Redaksi Charlie Hebdo, Stephane Charbonnier dan kartunis Jean Cabut ikut tewas ikut tewas dalam serangan itu.
Salman Rushdie dan Charlie Hebdo-Jean Cabut bukanlah warga negara Indonesia. Tapi, atas penghinaannya terhadap Quran dan Nabi Muhammad itulah yang menuai protes dan demonstrasi dalam jumlah yang sangat besar di kota-kota Indonesia.
Salman Rushdie dan Charlie Hebdo-Jean Cabut tidak sedang mengikuti pilihan gubernur atau wali kota atau senator di negaranya. Reaksi tersebut murni antara umat Islam dengan para penghina tersebut.
Demikian pula demonstrasi yang terjadi saat ini sebagai reaksi atas apa yang dilakukan oleh Ahok yang telah menistakan Quran, Surat Al Maidah ayat 51 atau menistakan para ulama yang dinilainya telah menggunakan ayat tersebut untuk membodohi umat. Demonstrasi ini murni antara umat Islam dengan Ahok. Tidak ada kaitannya dengan pilkadal DKI.
Bagi umat Islam kehormatan Islam jauh lebih tinggi dari sekedar pilkadal DKI. Karena ini urusan keimanan, urusan akherat yang abadi. Maka, jangan dikecilkan dengan pernyataan bahwa demo ini adalah masalah politik terkait pilkadal DKI.
Lalu kenapa mesti pas dengan menjelang pilkadal DKI?
Itu urusan Allah yang Maha Mengatur segalanya, sehingga Ahok "keseleo" lidah. Mungkin juga itu terjadi karena doa fakir miskin yang digusur Ahok. Atau doa para nelayan yang kehilangan tempat cari nafkahnya karena telah direklamasi.
Doa orang yang terdlolimi tidak ada batas antara dia dengan Allah. Atau di antara mereka ada anak yatim yang menangis ketika digusur kehilangan tempatnya berteduh, kesulitan makan. Karena ketika anak yatim menangis bergetarlah Arsy dan Allâh menanyakan kenapa ada anak yatim menangis. Tentu orang dhzalim yang menyebabkan anak tersebut menangis bersiap-siaplah dengan murka-Nya.
Tidak ada seorangpun yang mampu menyatukan dan menggerakkan hati umat Islam untuk turun ke jalan, kecuali Allah yang menyatukan dan menggerakkannya. Tidak ada isu yang bisa mengalihkan dari kasus ini jika Allâh sudah berkehendak.
Tidak ada kekuatan senjata apapun bisa menghentikan jika Allah pilihan mereka. Isykariman au mutsyahidan.
Demonstrasi sebagai sikap terhadap perilaku Ahok sudah memasuki tahap kedua. Tahap pertama dijanjikan proses hukum terhadap Ahok akan terus berlanjut. Tahap kedua dikatakan pemeriksaan Ahok menunggu izin presiden.
http://www.harianterbit.com/m/nasional/read/2016/10/22/71065/0/25/Kabareskrim-Pemeriksaan-Ahok-Tunggu-Izin-Presiden?text=nullhttp://www.harianterbit.com/m/nasional/read/2016/10/22/71065/0/25/Kabareskrim-Pemeriksaan-Ahok-Tunggu-Izin-Presiden
Nampaknya, bola panas sengaja dilempar ke presiden. Sebab semua tahu bahwa izin pemeriksaan kepala daerah sejak 2009 sudah dicabut oleh MK. Sehingga, pemeriksaan kepala daerah tanpa izin presiden. Bahkan, penangkapan dan penahanananpun cukup pemberitahuan tanpa izin presiden.
Tapi bola panas sudah terlanjur dilempar. Telunjuk amarah akhirnya mengarah ke Jokowi. Istana Negara sudah pasti akan menjadi sasaran luapan massa.
Satu hal yang tidak terbayangkan jika massa Solo Raya, Salatiga, Semarang, Kedu, DIY, Madiun, Magetan, Purwodadi tumpah ke rumah Jokowi di Sumber Solo. Mereka pasang tenda menginap di sekitar rumah Jokowi hingga Ahok ditangkap.
Yang menjadi pertanyaan besar adalah apakah presiden berani memberikan ijin pemeriksaan?
Pertanyaan ini sedang menggelayuti sebagian besar rakyat Indonesia. Hal ini didasari adanya isu yang beredar bahwa reklamasi di Kepulauan Seribu harus jalan terus, untuk itu Ahok harus jadi gubernur pada pilkadal DKI 2017. Jika sampai proyek reklamasi gagal maka para cukong akan melengserkan jabatan presiden RI.
Di samping itu juga tersebar kabar bahwa Ahok telah memegang beberapa ‘kartu As’ Presiden sehingga banyak orang meragukan keberanian Presiden Jokowi mengeluarkan ijin pemeriksaan untuk Ahok sebelum pilkada.
Tapi, sebagai orang Solo saya berharap Jokowi menunjukkan karakter orang Solo, tenang tapi berani meski dengan resiko besar.
Saya berharap Jokowi bisa menepis semua isu tersebut dengan memerintahkan pemeriksaan dan penangkapan Ahok.
Jika Ahok berani membunuh 2.000 orang untuk membela 10 juta orang
http://politik.rmol.co/read/2016/10/21/265255/Ahok-Dan-Ryamizard-
Apakah Presiden Jokowi berani mengorbankan seorang Ahok untuk menyelamatkan 250 juta rakyat Indonesia dari kerusuhan sosial dan kerugian ribuan triliun?
Atau justru sebaliknya, Jokowi akan mengorbankan 250 juta rakyat demi untuk membela seorang Ahok.
Baca juga
Nasihat tentang Kematian
Pemuda adalah generasi harapan bangsa.
4 Kunci Keberkahan dan Kebahagiaan Hidup
Fatwa Majelis Ulama Indonesia Tentang Penyelenggaran Ibadah Dalam Situasi Terjadi Wabah Covid-19
Smart Edu : Bisnis Dunia Pendidikan Dan Solusi Anak Cerdas